Senin, 17 Mei 2010

Sekilas Info....

Tokoh Muda Muslim Australia ke Indonesia

Antara - Selasa, 18 Mei
Jakarta (ANTARA) - Delegasi tokoh muda Muslim Australia dari Melbourne, Sydney, dan Canberra tiba di Indonesia, untuk ambil bagian dalam program pertukaran bilateral yang bertujuan memperkokoh pemahaman Islam dan masalah antaragama di kedua negara.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer dalam keterangan pers di Jakarta, Senin, mengemukakan, delegasi Australia ini mencerminkan kemajemukan budaya yang luas dalam masyarakat Muslim Australia yang terdiri atas sekurangnya 70 latar belakang etnis, termasuk dari Indonesia.
"Islam di Australia merupakan kisah yang dinamis serta berevolusi dengan sejarah yang kaya dan yang telah memberikan sumbangsih besar pada keberhasilan Australia kontemporer yang multi-budaya," kata Farmer.
Kontak Islam dengan Australia berlangsung sebelum pemukiman Eropa, yakni pada abad ke-16 ketika pedagang dan nelayan Makassar berbagi kehidupan dengan penduduk asli di sepanjang Australia utara.
"Sangatlah penting bagi pemuda Australia untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peran agama di Indonesia dan untuk berbagi pandangan tentang berbagai masalah," kata Dubes.
Selama program yang berlangsung dua minggu di Indonesia (16-30/5) mereka berkunjung ke Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dan bertemu dengan tokoh masyarakat serta agama, akademisi dan perwakilan media.
Delegasi ini juga mengikuti perayaan Waisak Buddha di Yogyakarta dan bertemu dengan intelektual Muslim yang sangat dihormati Emha Ainun Najib.
Salah satu anggota delegasi yang bekerja di Canberra di Kepolisian Federal Australia, Kate Grealy berharap, belajar lebih jauh tentang budaya Indonesia, tantangannya, bagaimana Indonesia memandang Australia dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang variasi praktik dan penafsiran Islam di Indonesia.
Sejak Maret hingga Juni 2010, tiga delegasi Muslim Indonesia mengadakan kunjungan balasan ke Australia di bawah Program Pertukaran Tokoh Muda Muslim (MEP) Australia-Indonesia tahunan ini.
Delegasi Indonesia yang ketiga dan terakhir akan berangkat ke Australia pada awal Juni. Program pertukaran ini didirikan pada 2002 oleh Pemerintah Australia melalui Lembaga Australia-Indonesia (AII). AII telah menjalankan peran yang unik dan vital dalam memupuk persahabatan dan memajukan pemahaman antara Australia dan Indonesia.
Selamat dan Sukses Jambore Nasional Hizbul Wathan 2010
di National Markaz Ground Camping Hizbul Wathan kompleks PusBang PTUM Kaliurang….Merdeka!!!

Jumat, 14 Mei 2010

Info dari pak Rady....

assalamualaikum.
Pak, mau tanya tentang sholat jamk dan qashor. Berapa jarak mnimal boleh jamak /qoshor. Keluar wilayah itu seprti apa yang dmaksud (Kabupaten, Kecamatan, desa, negara atau yang lain). apa boleh menjamak dan qoshor ketika masih dirumah akan pergi safar. bolehkah mengqoshor saja tidak menjama’ atau sebaliknya. apa pengertian safar? apa kerja rutin tiap hari bisa disebut safar? apa syarat utama boleh menjamak dan qoshor sholat, jarak atau safar? mohon diberi jawaban yang sederhana dan mudah dipahami. disertai dalilnya.


Wa’alaikumussalam

Wadouh, ini namanya serangan bertubi-tubi. Pertanyaannya banyak sekali. Kalau kita susun ulang pertanyaannya adalah sebagai berikut;

1- Jarak minimal jama’ / qashar?

2- Apa maksud keluar wilayah?

3- Bolehkah mengqashar tanpa menjama’?

4- Bolehkah menjamak dan mengqashar sebelum berangkat safar?

5- Apa pengertian safar

6- Bekerja rutin termasuk safar atau tidak

7- Syarat qashar itu jarak atau safar?

Terus terang saya perlu melakukan ceking pemahaman saya dengan hadits-hadits dan pendapat-pendapat ahli fiqih. Selain itu kebetulan kesibukan profesi jga menuntut untuk segera diselesaikan. Mohon maaf kalau ngejawabnya jadi lama.

Dari pertanyaan ini, agar menjawabnya fokus maka saya susun point per point;

1- Shalat jama’
Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Bila dikerjakan di waktu awal namanya jamak taqdim, dan jika dikerjakan pada waktu shalat yang akhir dinamakan jamak ta’khir.

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan, selama ia memiliki udzur. Ia tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur. Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan, turunnya hujan, dan orang sakit.

Berkata Imam Nawawi rh :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.”

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ

Dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwasanya Rasulullah saw pernah menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (HR.Muslim)

Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa Rasulullah melakukan demikian, beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah saw tidak ingin memberatkan umatnya.”. Namun yang perlu diingat, jika tidak dalam keadaan sulit janganlah melakukan hal ini.

2- Shalat qashar
Adapun shalat qashar adalah meringkas shalat, dari 4 rekaat menjadi 2 rekaat. Dasar pelaksanaan shalat qashar adalah Al-Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.”( an Nisaa’: 101).

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا) فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَ « صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ ».

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab ra tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Umar ra menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ اللَّهُ الصَّلاَةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِى السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِى الْخَوْفِ رَكْعَةً.

Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu saw empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud).

عَنْ عُمَرَ قَالَ صَلاَةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم.

Dari Umar ra berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied Fitri dan Adlha adalah dua raka’at, telah sempurna tidak kurang, berdasarkan atas keterangan dari lisan Muhammad saw.” (HR.Ibnu Majah).

Ibnu Umar ra mengatakan;

إِنِّى صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ).

“Aku menemani Rasulullah saw dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar ra dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar ra dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman ra dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ.

Berkata Anas bin Malik ra : “Kami pergi bersama Rasulullah saw dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Muslim).

3. Antara jamak dan qashar;
Telah menjadi pemahaman bagi sebagian masyarakat kita bahwa antara antara jama’ dan qashar adalah satu kesatuan. Padahal sebenarnya antara jamak dan qashar adalah dua cara melaksanakan shalat yang antara satu dengan yang lain tidak berhubungan. Oleh karena antara jamak dan qashar dua hal yang berbeda, shalat bisa dijamak tanpa qashar dan bisa juga diqashar tanpa jama’, dan bisa juga dijamak dan diqashar.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kedua shalat tidak harus dilaksanakan bersama, sehingga bisa qashar tanpa jama’ adalah

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas bahwa Rasulullah saw pernah shalat dhuhur di Madinah empat rekaat lalu shalat Ashar di Dzil Hulaifah dua rekaat (HR Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa rasulullah saw shalat di Madinah dengan empat rekaat, lalu shalat Ashar di Dzul Hulaifah dengan qashar. Jadi shalat ashar dilaksanakan dengan qashar tetapi tidak dijamak dengan dhuhur. Karena itulah Rasulullah saw hanya shalat ashar dua rekaat. Berdasarkan ini pula, shalat qashar saja tanpa jama’ boleh dilakukan. (pertanyaan ke 3 terjawab)

4. Safar
Secara bahasa yang dimaksud dengan safar adalah membuka. Safar diartikan membuka karena di dalam safar akan terbuka perilaku asli seseorang. Safar juga diartikan menempuh jarak perjalanan yang jauh. Adapun dalam pandangan syara’, safar adalah keluar dari wilayah dengan satu tujuan yang telah melampaui jarak dibolehkannya qashar. (pertanyaan 4 terjawab)

Batasan jarak perjalanan yang dinamakan safar ini oleh para ulama’ diperselisihkan. Jumhur fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa batasanya adalah 4 barid, berdasarkan hadis;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda, wahai penduduk Makkah, janganlah mengqashar dalam jarak kurang dari empat barid, dari Makkah hingga Usfan (HR al-Baihaqi; hadis ini dla’if karena di dalam sanadnya ada Abdul Wahhab bin Mujahid, karena dia majhul)

Satu barid adalah 4 farsakh, dan 1 farsakh sama dengan 3 mil Hasyimiyyah, atau 2,5 mil Bani Umayyah. Dengan demikian jika mengikuti perhitungan hasyimiyah maka jarak minimal safar syar’i adalah 48 mil, sedangkan dengan hitungan mil bani Umayyah adalah 40 mil. Dan jika dikonversi dengan ukuran kilometer, 1 farsakh kira-kira 8 km dan ada yang mengatakan 5,5 km. Selanjutnya jarak 4 barid ini diperkirakan setara dengan 88,7 km.

Meskipun hadis ini dala’if, oleh jumhur ulama’ tetap dipakai untuk menjalaskan hadis bahwa safar itu adalah sehari semalam.

لا يحل لأمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة ليس معها حرمة

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar sehari dan semalam tanpa disertai mahram (HR al-Bukhari)

Hadis tersebut oleh al-Bukhari diletakkan di dalam bab, berapakah (jarak safar) shalat diqashar. Setelah itu beliau menyebutkan hadis mu’allaq bahwa sehari semalam itulah yang dinamakan safar oleh rasulullah saw. Ukuran perjalanan tersebut adalah diukur dengan berjaan kaki atau naik onta. Sehingga perjalanan sehari semalam setara dengan empat barid, atau enam belas farsakh.

Imam Hanafi membatasi minimal perjalanan adalah 3 hari berdasarkan sabda Rasulullah saw

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Dari Ibnu umar ra bahwa nabi saw bersabda; janganlah seorang wanita mengadakan safar selama tiga hari kecuali bersama mahram (HR al-Bukhari)

Sebagian ulama’ yang lain menatapkan jarak minimal tidak sejauh itu, berdasarkan hadis dari Yahya bin Yazid ketika bertanya tentang qashar kepada Anas bin Malik, lalu beliau menjawab;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ – شُعْبَةُ الشَّاكُّ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.

Rasulullah saw manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), beliau shalat dua rakaat“.(HR Muslim).

Jika kita mengambil 3 mil, 1 mil adalah 1,6 km maka jarak minimal safar adalah 4,8 km. Jika yang digunakan adalah farsakh, maka dikalikan empat, 19,2 km.
Hadis berikut juga menunjukkan bahwa Rasulllah shalat qashar dalam jarak kurang dari 4 farsakh.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas bahwa Rasulullah saw pernah shalat dhuhur di Madinah empat rekaat lalu shalat Ashar di Dzil Hulaifah dua rekaat (HR Muslim)

Dzul Hulaifah adalah daerah dekat dengan kota Madinah, konon jaraknya hanya sekiar 6 mil. Dan di daerah inilah jama’ah haji yang berasal dari Madinah mulai mengenakan pakaian ihram.

Angka tersebut pun bukanlah angka yang terendah, sebab Ibnu Umar meriwayatkan

أَنَّهُ صَلَّى صَلاَةَ الْمُسَافِرِ بِمِنًى وَغَيْرِهِ رَكْعَتَيْنِ

Bahwasannya beliau saw melakukan shalat safar di Mina, yaitu dengan dua rekaat (HR Muslim)

Shalat Rasulullah saw tersebut dilaksanakan pada waktu haji Wada’, yang diikuti oleh kaum muslimin, termasuk penduduk kota Makkah. Padahal jarak antara Makkah dan Mina hanya 1 mil, atau sekitar 1,6 km. dalam jarak sedemikian mereka ikut mengqashar dan dibenarkan oleh Rasulullah saw menunjukkan kebolehannya mengqashar.

Dengan adanya riwayat-riwayat ini, sesungguhnya tidak ada batasan safar yang tegas di dalam hadis. Prinsipnya, jika seseorang sudah keluar dari kotanya, maka ia boleh mengqashar, meskipun jaraknya tidak jauh. Tetapi mayoritas ulama’ menjelaskan batas safar itu adalah 88 km. Syaikh bin Baz pun menganjurkan untuk mengambil jarak ini untuk kehati-hatian sekaligus menghindarkan sikap meremehkan ibadah (pertanyaan 1 terjawab)

Status qashar, rukhshah atau bukan?
Para ulama’ tidak sepakat tentang kedudukan shalat qashar, apakah ia rukhshah atau bukan. Sebagain pendapat mengatakan bahwa qashar bagi musafir itu adalah rukhshah. Dalilnya firman Allah

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqashar shalat…

Ayat itu dinyatakan dengan kata “tidak ada dosa…” yang berarti sebuah pilihan, boleh mengqashar dan boleh pula tidak mengqashar.

Tetapi sebagain lagi memandang memang demikianlah cara shalat musafir, qashar bukan rukhshah berdasarkan hadis nabi

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ اللَّهُ الصَّلاَةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِى السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِى الْخَوْفِ رَكْعَةً.

Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu saw empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud)

Hadis-hadis lain yang menyatakan bahwa qashar adalah kewajiban sangat banyak. Bahkan ketika ada orang yang shalat empat rekaat dalam safar arena merasa telah aman umar mengtatakan, bahwa dirinya pernah bertanya kepada rasulllah dan beliau menjawab

« صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ ».

(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll)

Kalaupun berpendapat bahwa shalat qashar adalah disebabkan karena safar, dalam kajian fiqih, qashar boleh dilaksanakan dalam safar apabila safar itu memenuhi syarat-syarat berikut;

1- Mencapai jarak minimal.

2- Safar tersebut memiliki tujuan yang jelas

3- Telah keluar dari negeri tempat tinggal

4- Safar tidak dalam kemaksiatan

Dimuka telah dibahas bahwa jarak tidak ada ketentuan yang pasti di dalam hadis, maka yang terpenting dalam safar itu adalah telah keluar dari wilayah kampung atau negerinya.
Syarat kedua, ini tidak ditemukan dalil yang mendasarinya

Syarat ketiga, keluarnya dari wilayah itu ditunjukkan oleh hadis

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas ra: “Aku shalat bersama Rasulullah saw di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

Hadis ini difahami bahwa shalaq qashar baru bolehdilakukan apabila seseorang telah keluar wilayah, yakni telah keluar dari deretan rumah-rumah di kampungnya atau kotanya. Yang membatasi desa atau kota menurut para ulama’ adalah terpisahnya umpulan rumah-rumah itu dengan kebun atau sawah dan ladang. Apabila sawah dan ladang itu tidak dihuni, maka itu telah memisahkan desa.

Baik yang memandang bolehnya qashar dengan safar sejauh 88 km atau tidak, persoalan keluar dari wilayah ini berlaku. Hanya bedanya, bagi yang memandang adanya batas minimal 88 km itu, jika seseorang hendak bepergian lebih dari 90 km ia mulai bolehnya mengqashar adalah setelah keluar dari wilayah tinggalnya. Sementara pendapat yang tidak membatasi jarak, membolehkan qashar setelah perjalanannya keluar dari wilayah tepat tinggalnya.

Dari sini jelas tidak boleh mengqashar sebelum bepergian. Tetapi persoalan menjamak, tanpa bepergian pun boleh menjamak. Dan juga sebagaimana disebutkan di dalam hadis, Rasulullah pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar sebelum bepergian

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا. فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

Rasulullah saw apabila bepergian sebelum tergelincirnya matahari maka beliau mengakhirkan Dhuhur hingga waktu ashar, kemudian beliau singgah dan menjamak keduanya. Tetapi jika sudah tergelincir matahari sebelum bepergian maka beliau shalat dhuhur lalu pergi (Muttafaq ‘Alaih)

Ibnu hajar dalam menjelaskan hadis ini di dalam fath al-bari menjelaskan ada tambahan

فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ثُمَّ رَكِبَ

Tetapi jika sudah tergelincir matahari sebelum bepergian maka beliau shalat dhuhur dan ashar lalu pergi

Menurut Ibnu hajar, tambahan (ziyadah) kalimat itu adalah dilandasi dengan snad yang baik.

Meskipun demikian, hadis bahwa Rasulullah shalat dhuhur di Madinah dan shalat Ashar di Dzul Hulaifah menunjukkan lebih utamanya shlat dhuhur tanpa ashar. Kecuali jika dikhawatirkan tidak bisa singgah di jalan sehingga tidak ada waktu shalat lagi maka boleh shalat ashar dengan jama’ taqdim.

Bekerja rutin termasuk safar atau tidak
Menilik definisi safar, rutin atau tidak rutin, selama keluar rumah dengan tujuan tertentu dan mencapai jarak tertentu maka ia dinamakan safar. Misalnya seorang sopir, karena memang kerjanya keluar daerah maka ia boleh dinamakan safar. Dan ia boleh mengqoshor shalatnya.

Tetaopi jika beperiannya tidak terlalu jauh, sehingga ia bisa mencapai shalat jama’ah, seperti hanya berjarak 50 km sehingga misalkan pulang dari kantor jam 14 siang, lalu ia bisa ikuti shalat ashar di rumah dengan berjama’ah, janganlah ia mengqoshor shalatnya.

Allahu a’lam bish-shawab.

Kamis, 13 Mei 2010

SDMuh Ce-Ce Lover Club say....about Aqidah

Menanamkan Pondasi Akidah yang Kokoh Sejak Usia Dini

Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah figur guru/pengajar yang terbaik. Sehingga metode Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam menanamkan keyakinan aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.

Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral anaknya, para pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta didiknya, patutlah kita menengok kembali bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam memberikan contoh peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu beliau yang masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

Bukti sejarah memaparkan keunggulan metode pengajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan berilmu seperti Ibnu Abbas. Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama’ di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli tafsir, sekaligus seorang panutan yang menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara’, taqwa, dan perasaan takut hanya kepada Allah semata.

Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari. Beliau adalah seseorang yang didoakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam:
“Wahai Allah, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta’wil (ilmu tafsir Al Quran)”. Beliau pula yang dua kali didoakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam supaya dianugerahi hikmah oleh Allah. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah.
Mari kitak simak salah satu metode pengajaran agung itu, untuk selanjutnya kita gunakan pula dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan bimbingan Allah. Disebutkan dalam suatu hadits:
Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu: “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…
Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah…
Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah…
Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…
Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)…
Pena telah diangkat… dan telah kering lembaran-lembaran…(hadits riwayat Tirmidzi, Hasan, shahih)

Inilah salah satu wasiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang mewarnai kalbu Ibnu Abbas, menghunjam dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Allah. Kita juga melihat bagaimana metode dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, hal pertama kali yang ditanamkan adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan dirinya di hadapan Allah. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya untuk menghamba hanya kepada Allah. Tidaklah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam mendahulukan sesuatu sebelum masalah tauhid diajarkan.

Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Allah, maka dia harus ‘menjaga’ Allah. Makna perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…” dijelaskan oleh seorang Ulama’ bernama Ibnu Daqiqiel ‘Ied: “Jadilah engkau orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari (mengerjakan) larangan-larangan-Nya”. (Syarah al-Arba’in hadiitsan an-nawawiyah).
Kita jaga batasan-batasan Allah dan tidak melampauinya. Batasan-batasan itu adalah syariat Allah, penentuan hukum halal dan haram dari Allah, yang memang hanya Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum tersebut, sebagaimana dalam ayat: Artinya: “…penetapan hukum hanyalah hak Allah” (Q.S.Yusuf: 40 )

Allah mencela orang-orang yang melampaui batasan-batasan-Nya: Artinya: “…dan barangsiapa yang melampaui batasan-batasan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim”(Q.S. Albaqarah:229).
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan: “Batasan itu terbagi dua, yaitu: batasan perintah (untuk) dikerjakan dan batasan larangan (untuk)ditinggalkan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadits ini memberikan sinyalemen bahwa barangsiapa yang senantiasa menjaga batasan-batasan Allah itu maka dia akan senantiasa dalam penjagaan Allah. Maka siapakah lagi yang lebih baik penjagaannya selain Allah? sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dalam AlQuran disebutkan:
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”(Q.S. Al-Anfaal:40).

Syaikh Abdirrahman bin Naashir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan:…”Allah lah yang memelihara hamba-hambanya yang mu’min,dan menyampaikan pada mereka (segala) kebaikan/mashlahat, dan memudahkan bagi mereka manfaat-manfaat Dien maupun kehidupan dunianya, dan Allah yang menolong dan melindungi mereka dari makar orang-orang fujjar,dan permusuhan secara terang-terangan dari orang-orang yang jelek akhlaq dan Diennya.(Kitab Taisiril Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan).

Makna perkataan Rasul “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…”. Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, menjelaskan makna hadits tersebut: “Jagalah batasan-batasan Allah dan perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada”.

“Jika engkau memohon, memohonlah kepada Allah, jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah”. Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang selalu kita ulang-ulang dalam sholat :Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan”(Q.S. Al-Fatihah: 5).

Kalimat yang sering kita ulang-ulang dalam munajad kita dengan Penguasa seluruh dunia ini, akankah benar-benar membekas dan mewarnai kehidupan kita? Sudahkah kita benar-benar menjiwai makna pernyataan ini sehingga terminal keluhan dan pelarian kita yang terakhir adalah Dia Yang Berkuasa atas segala sesuatu? Demikianlah yang seharusnya. Di saat kita meyakini ada titik tertentu , sebagai batas semua makhluk siapapun dia, tidak akan mampu mengatasinya, pulanglah kita pada tempat kita berasal dan tempat kita kembali. Apakah dengan penguakan kesadaran yang paling dalam ini kita masih rela berbagi permintaan tolong kita yang sebenarnya hanya Allah saja yang mampu, kepada makhluk selain-Nya? Sungguh hal itu merupakan bentuk kedzaliman yang paling besar.

Allah mengabadikan salah satu bentuk nasehat mulya yang akan senantiasa dikenang :

Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang paling besar” (Q.S.Luqman:13)
Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Allah saja yang mampu memenuhinya, seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang semisalnya, kepada selain Allah adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta tolong dalam permasalahan yang manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Allah untuk memenuhinya, seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan dan semisalnya.

“Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…” Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)…Dua bait ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini mempertegas dan memberikan argumen yang pasti bahwa Allah sajalah yang berhak dijadikan tempat bergantung, meminta pertolongan, karena hanya Ia saja yang bisa menentukan kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu makhluk. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam juga mengajarkan kepada kita dzikir seusai sholat yang menguatkan pengakuan itu:

“Allahumma laa maani’a limaa a’thoyta walaa mu’tiya limaa mana’ta “

Artinya: “…Wahai Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah/halangi…” (hadits riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim 5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly).

Dalam hadits itu pula terkandung pelajaran penting wajibnya iman terhadap taqdir dari Allah baik maupun buruk. Seandainya seluruh makhluk berkumpul dan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk memberikan sesuatu pada seseorang, tidak akan bisa diterimanya jika tidak ditakdirkan oleh Allah, demikian pula sebaliknya dalam hal usaha untuk mencelakakan.Kesadaran ini pula yang harus ditanamkan sejak dini.

Orang tua hendaknya memberikan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh si anak tentang kekuasaan Allah dan taqdirnya. Anak-anak mulai diajak berpikir secara Islamy, bahwa segala sesuatu yang menjadi kepunyaannya itu adalah pemberian dari Allah dan telah Allah takdirkan sampai padanya. Demikian pula apa yang luput dari usaha anak itu untuk mencapainya, telah Allah takdirkan tidak akan sampai padanya.

Telah diangkat pena-pena dan telah kering lembaran-lembaran….maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah tertulis ketentuannya dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah berfirman:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”(Q.S. Al-hadiid:22-23).

Sungguh indah rasanya jika teladan pengajaran dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai kalbu mereka yang masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di saat mereka beranjak dewasa, kita akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Dien yang mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang untuk menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya kepada, dan karena Allah semata.

Daftar rujukan:
1. Syarah al-Arba’in Hadiitsan an-Nawawiyah, Imam Ibn Daqiiqil ‘Ied.
2. Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa’di
3. Tafsir Al-Qurthuby.
4. Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
5. Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-Najdi.

Kamis, 06 Mei 2010

AbahAzzam says:

yang berlalu tak akan pernah kembali lagi….
May 7, 2010 by mediasholeha

Genggamlah hari lalu sebagai saksi yang adil
Keberadaanmu hari ini kan menjadi bukti
Kalau kemarin kau telah berbuat kejelekan
Gandakan kebaikan hari ini maka kau kan terpuji
Jangan menunda kebaikan hari ini hingga esok
Boleh jadi hari esok datang kau telah pergi
Hari harimu bila dipergunakan
Kan mendatangkan kebaikan
Hari yang berlalu tak akan pernah kembali lagi….
(Yusuf Qardlawi)

Ini yang terbaik
April 13, 2010 by mediasholeha
Hidup seperti pengulangan. Hari demi hari yang terjadi adalah pengulangan; makan, tidur, dll. Bagaimana kita menyikapi hidup bahwa ini yang terbaik. Hingga kita sampai pada titik akhir hidup kita yaitu, kematian. Anugerah berupa akal, hati, dan badan ini sudah selayaknya kita optimalkan. Dengan cara mensinergikan ketiganya, yaitu mempertemukan ketiganya dalam kebaikan. Kenapa ada orang yang tidak sabar?. Misalnya dalam perjalanan ke suatu tempat, ternyata jalannya macet. Marah-marah, kenapa tadi tidak lewat jalan A, atau B, biar ga kena macet?, dst. Ini terjadi karena tidak sinergi antara badan dan pikiran. Pikiran di tempat tujuan, sedangkan badan masih di jalan.
Di radio MQ FM, kajian ahad (14 Maret 2010) seorang ustadz menyampaikan tentang bagaiamna menyikapi kehidupan bahwa ini yang terbaik. Dikisahkan sebagai berikut:
Seorang pasukan diajak berburu oleh rajanya bersama pasukan yang lain.
Raja : Yuk, besok kita berburu
Pasukan : Ini yang terbaik
Raja : besok kita berangkat setelah sarapan
Pasukan : Siap raja, ini yang terbaik
Pagi telah tiba…. Raja dan pasukannya berangkat berburu.
Raja : Ayo kita berburu… kamu paling depan!
Pasukan : Siap raja, ini yang terbaik
Raja : Ada Kijang besar disana… ayo…panah!!!!
Pasukan : Siap raja, ini yang terbaik…. (sambil lari dan siap melepaskan anak panahnya ke Kijang besar tersebut)
Tiba-tiba pasukan tersebut terpeleset batu, dan akhirnya badannya berbalik ke belakang, begitu juga dengan panahnya. Sretttt………….. terlepaslah anak panahnya dan mengenai ibu jari tangan raja.
Raja : Kurang ajar. Pasukan…. Penjarakan dia!!!
Pasukan : Penjara???. Baik raja, ini yang terbaik.
Raja : Penjarakan dia 3 bulan.
Paukan : 3 bulan???. Baik raja, ini yang terbaik.
2 bulan berlalu. Sang raja ingin kembali berburu. Pasukan yang telah memanahnya masih di penjara. Dia pergi bersama pasukannya yang lain. Berangkatlah raja bersama pasukannya. Bukan binatang bururan yang ditemui, tapi yang ditemui adalah kanibal. Raja dan pasukan semuanya diikat. Digilir satu persatu untuk disantap oleh kanibal. Ada yang di sate, di soto. Syaratnya mereka harus sempurna, tidak boleh ada sedikitpun yang cacat. Tibalah suatu saat giliran raja untuk di korbankan.
Raja kanibal : Lepaskan ikatannya !!!
Pasukan kanibal : Siap raja!. Raja, orang ini punya cacat. Ibu jari tangannya tidak sempurna.
Raja kanibal : Lepaskan saja dia. Dia tidak layak kita konsumsi.
Pasukan kanibal : Baik raja.
Senang bukan kepalang raja tersebut. Sangaaat bersyukur. Tahukah siapa kira-kira orang pertama yang akan dia datangi???. Ya, dialah pasukan yang telah memanahnya 2 bulan yang lalu.
Raja : Pasukan, Ini yang terbaik.
Pasukan : Ada apa raja?
Raja : Karena dulu ibu jari tanganku pernah kena panahmu, aku sekarang selamat dari kanibal yang akan menjadikan aku sebagai korbannya.
Pasukan : Aku di penjara, ini yang terbaik.
Raja : Lho kenapa di penjara yang terbaik???
Pasukan : Kalau aku tidak di penjara, dan aku ikut berburu bersama raja, pasti aku akan menjadi salah satu korban dari kanibal juga.
————–INI YANG TERBAIK—————
Kisah tersebut menyampaikan tentang bagaimana kita menyikapi kehidupan, bahwa ini yang terbaik. Dalam suatu kejadian, pasti ada hikmah di dalamnya. Ketika sekarang kita diuji punya kekurangan misalnya, yakinlah bahwa ini yang terbaik. Dengan menyempurnakan ikhtiar dan selalu berdo’a kepadanya. Yang dengan kekurangan itu tidak membuat kita mengambil yang bukan hak kita. Dan selalu berusaha untuk melakukan kebaikan. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya dan kebaikan itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apa bila ia mendapat kesenangan ia bersyukur dan itulah yang terbaik untuknya. Dan apabila mendapat musibah ia bersabar dan itulahyang terbaik untuknya.” (shahih muslim no. 7500 hal.
1295).