Diskusi Ilmiah Q-ta....

Soal ke-1
Assalamu’alaikum wr. wb
Apa hukumnya bila seorang wanita berhalangan terus membaca al-Qur’an?

Jawab;
Wa’alaikumussalam wr. wb
Imam Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan haram membaca al-Qur’an ketika sedang haidl. Pendapat itu didasarkan kepada sabda Rasulullah;
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي الْحَاجَةَ فَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَلَمْ يَكُنْ يَحْجِزُهُ أَوْ يَحْجُبُهُ إِلَّا الْجَنَابَةُ
Dari Ali bin abi thalib, bahwa nabi saw membuang hajat lalu beliau makan roti dan daging bersama kami, lalu membaca al-Qur’an dan tidak ada yang menghalangi beliau untuk membaca Al-Quran kecuali janabah (HR. Ahmad, dan al-Tirmidzi).
Imam Syafi’i menqiyaskan haidl dengan janabah. Tetapi Imam Malik dan pengikutnya menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa masalah haidl tidak bisa diqiyaskan dengan janabah. Sebab haidl waktunya panjang sedangkan janabah sebentar. Karena tidak bisa diqiyaskan, larangan membaca al-Qur’an bagi orang yang haidl harus didasarkan dengan dalil tersendiri. Jika tidak ada dalil tersendiri maka hukumnya kembali kepada hukum asal, seorang muslim boleh membaca al-Qur’an.
Hanya saja, kebolehan membaca al-Qur’an ini tidak diikuti dengan kebolehan menyentuh mushaf al-Qur’an. Bolehnya menyentuh kalau menggunakan pembatas, seprti kain yang tebal, atau yang lainnya.
Tetapi menurut Abu Dawud adh-Dhahiri, hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi ini dinilai dla’if, karena di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Abdullah bin Salamah. Rawi ini dla’if, maka hadisnya dla’if, dan hadisl dla’if tidak bisa menjadi hujjah.
Kesimpulannya, seorang wanita haidl boleh saja membaca al-Qur’an.

2 Tanggapan - tanggapan to “Wanita Haidl Membaca Al-Qur’an”
1. salafisakit Berkata:

April 19, 2009 at 10:17 pm
Masalah ini adalah masalah khilafiyah, yang sudah lama menjadi bahan silang pendapat di antara ulama. Secara garis besar mereka terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mengharamkan wanita haid berdiam di mesjid (kecuali sekedar lewat), ada pula yang mengatakan boleh dan tak ada larangan. Namun demikian Allah Ta’ala berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa (4): 59)
Kita akan lihat dalil masing-masing kelompok, sebagai berikut:
1. Alasan yang Mengharamkan kecuali sekedar lewat saja
Kelompok ini yakni madzhab Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, memiliki beberapa dalil untuk menguatkan pendapat mereka. Yaitu:
A. Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, terkecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Tentang ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Allah Ta’ala melarang hambanya orang-orang beriman melakukan shalat dalam keadan mabuk, yang membuatnya selagi shalat tidak memahami apa yang sedang diucapkan, begitu pula dilarang mendekati tempat shalat –yakni mesjid- kecuali sekedar melintas saja, dari pintu menuju pintu, bukan untuk berdiam.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 2, Hal. 308. Darut Thayyibah linnasyr wa Tauzi’. Cet. 2, 1999M/1420H. tahqiq: Sami bin Muhamamd Salamah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Ta’ala ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ yaitu jangan kamu masuk ke mesjid dalam keadaan junub, kecuali hanya sekedar lewat saja. Dia berkata: sekali lewat saja tidak duduk. Ini juga diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah, Said bin al Musayyab, Abu adh Dhuha, Atha’, Masruq. Mujahid, ‘Ikrimah, Ibrahim an Nakha’i, Ibnu Syihab, Zaid bin Aslam, Abu Malik, Amru bin Dinar, Al Hakam bin Utaibah, Yahya bin Said, Qatadah, dan lain-lain. (Imam Ibnu Katsir, Ibid, Juz. 2, Hal. 311)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dari ayat ini, para imam berhujjah bahwa diharamkannya orang yang junub berdiam di mesjid, kecuali sekedar melewati, begitu pula bagi wanita haid dan nifas, secara esensi sama.” (Ibid, Juz. 2, hal. 311)
Sebagian ulama salaf menafsiri bahwa maksud kalimat,‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ adalah kecuali sekedar lewat untuk keluar darinya (mesjid).
Dari Abu Ubaidah bin Abdullah, dari ayahnya (yakni Ibnu Mas’ud), dia berkata: “yaitu lewat di mesjid.”
Dari Qatadah, dari Sa’id, tentang orang junub: “yaitu sekedar lewat di mesjid hanya berdiri, tidak duduk, dan bukan dengan berwudhu.”
Dari Ibnu Abbas: “Tidak mengapa bagi orang yang junub dan haid untuk melewati saja, selama dia tidak duduk di dalamnya (mesjid).”
Dari Abu az Zubeir, dia berkata: “Salah seorang di antara kami ada yang junub lalu dia melewati mesjid.”
Dari Al Hasan, dia berkata: “Orang junub melewati mesjid, tanpa duduk di dalamnya.”
Dari Ibrahim, dia berkata: “Jika dia tidak menemukan jalan lain, kecuali mesjid, maka hendaknya dia sekedar lewat di dalamnya.” Dari dia juga, “Jika seorang junub, tidak mengapa dia melewati mesjid, jika memang tidak ada jalan lain.”
Dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Orang junub hanya melewati mesjid, tidak boleh duduk di dalamnya.” Dan yang serupa juga diriwayatkan oleh Ikrimah, Ibnu Syihab Az Zuhri, dan lan-lain. (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, Hal. 382-384. Cet. 1, 2000M/1420H. Mu’asasah ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Jarir dan Imam Ibnu Katsir juga mendukung pendapat ini.
FirmanNya: “hingga kalian mandi,” merupakan dalil bagi tiga Imam, yakni Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i bahwa haram bagi seorang yang junub berdiam di mesjid, sampi dia mandi atau tayamum, jika tidak ditemukan air. Jika tidak maka cukup untuk melewati saja. Sedangkan madzhab Imam Ahmad, baginya jika seorang junub berwudhu maka baginya boleh diam dimesjid, sebagaimana riwayat dari Said bin Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih bahwa para sahabat nabi melakukan hal tersebut. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, hal. 313)
B. Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
Dari ‘Aisyah, dia berkata: Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu.” (HR. Jami’ush Shahih, Imam Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini juga disebut tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits. 624. Musnad Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika sekedar lewat, yakni mengambil barang saja tanpa duduk atau berdiam, tidaklah mengapa. Penegasan ‘Aisyah, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Merupakan dalil yang menunjukkan kelaziman saat itu bahwa wanita haid tidak boleh masuk mesjid. Jika boleh, tentu ‘Aisyah langsung mengambil khumrah tersebut, tanpa harus memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau sedang haid.
Hadits kedua:
Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا جنبٍ
“Sesungguhnya aku, tidak halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” (HR. Sunan Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz. 5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus Sunan wa Atsar Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah (Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi al Junubi, No hadits 104. Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq: Syaikh ‘Idrus bin Al ‘Idrus dan ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf).
Hadits di atas sangat tegas pelarangannya.
Hadits ketiga:
عن أبي سعيد الخُدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري وغيرك
Dari Abu Said al Khudri, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini, selainku dan selainmu.”(HR. Sunan At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661. Kata Imam At Tirmidzi hadits ini hasan gharib, tidak dikenal jalurnya kecuali dari jalan ini. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 7, Hal. 66)
Demikianlah dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok imam madzhab yang mengharamkan wanita haid (juga nifas dan orang junub) berdiam di mesjid, kecuali sekedar lewat saja.
2. Alasan Kelompok yang Membolehkannya (asalkan dia berwudhu)
Ini adalah pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Hazm, dan sebagian para sahabat nabi, dan ulama salaf. Mereka beralasan:
A. Firman Allah Ta’ala
Mereka beralasan dengan ayat yang sama dengan kelompok yang mengharamkan (QS.An Nisa (4): 43). Bagi mereka ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan mesjid, melainkan tentang orang yang safar (bepergian) yang sedang mengalami junub dan tidak mendapatkan air. Faktanya, secara lahiriyah, ayat tersebut memang tidak menyebut-nyebut mesjid. Silahkan lihat ayat tersebut dan terjemahannya.
Dari Ali bin Abi Thalib dia berkata tentang ayat, ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ artinya janganlah dia mendekati shalat, kecuali jika dia musafir yang mengalami janabah, dia tidak menemukan air, maka shalatlah ketika sudah menemukan air (untuk mandi).” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 312)
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath Thabari telah memaparkan dalam tafsirnya, keterangan dari para salaf bahwa maksud ayat itu adalah tentang safar dan musafir, yang tidak menemukan air, maka boleh baginya tayamum. Contohnya:
Dari Ibnu Abbas tentang firmanNya ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ dia berkata: “Musafir.” Ibnu Al Mutsanna berkata: “tentang safar.”
Dari Ali bin Abi Thalib: “Jika kalian musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”
Dari Said bin Jubair: “Musafir.”
Dari Mujahid: “Musafir, jika dia tidak menemukan air, maka dia bertayamum dan shalat ketika tiba waktunya.”
Dari Hasan bin Muslim: “Jika ia musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”
Dari Al Hakam: “Musafir yang mengalami junub, jika ia tidak menemukan air maka hendaknya dia tayamum.”
Dari Abdullah bin Katsir: “Dahulu kami mendengar bahwa ayat itu tentang safar.”
Dari Ibnu Zaid: “Itu adalah musafir yang tidak menemukan air, maka wajib baginya bertayamum dan shalat.” Dia berkata: “Ayahku juga berkata demikian.” (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, hal. 380-382. Cet. 1, 2000M/1420H. Mu’assah ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Al Maktabah Asy Syamilah)
B. Dalil dari Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Kelompok yang membolehkan juga menggunakan dalil yang digunakan kelompok yang mengharamkan.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
Dari ‘Aisyah, dia berkata: Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu.” (HR. Jami’ush Shahih, Imam Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini juga disebut tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits. 624. Musnad Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah)
Menurut kelompok ini, hadits ini jelas-jelas membolehkan seseorang yang haid untuk masuk ke mesjid, bahkan Rasulullah sendiri yang memerintahkan, sebagai bantahan bagi kekhawatiran ‘Aisyah yang terkesan enggan ke mesjid karena haid. Adapun, alasan kelompok yang mengharamkan, bahwa hadits ini hanya membolehkan sekedar lewat saja, adalah tidak benar. Sebab, saat itu memang keperluannya hanya untuk mengambil khumrah yang tidak membutuhkan waktu lama. Tidak berarti hal itu, bermakna jika lebih lama dari itu atau berdiam di dalamnya adalah haram. Sebab memang dilakukan sesuai keperluan saja. Wallahu A’lam
Hadits kedua:
Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا جنبٍ
“Sesungguhnya aku, tidak halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” (HR. Sunan Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz. 5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus Sunan wa Atsar Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah (Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi al Junubi, No hadits 104. Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq: Syaikh ‘Idrus bin Al ‘Idrus dan ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf).
Menurut kelompok yang membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif (lemah).
Imam Abu Muslim al Khathabi berkata: “Jamaah (Ahli hadits) mendhaifkan hadits ini.” Mereka berkata: Aflat (salah seorang rawi) adalah majhul (tidak dikenal).” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 312)
Hadits ketiga:
عن أبي سعيد الخُدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري وغيرك
Dari Abu Said al Khudri, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini, selainku dan selainmu.”(HR. Sunan At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661. Kata Imam At Tirmidzi hadits ini hasan gharib, tidak dikenal jalurnya kecuali dari jalan ini. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 7, Hal. 66)
Menurut kelompok yang membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil sebab kedhaifannya. Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ini hadits dhaif, tidak kuat. Karena Salim (bin Abi Hafshah, perawi hadits ini) adalah seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Sedangkan gurunya, yakni ‘Athiyah, juga dhaif. Wallahu A’lam. (Tafsir Al Qur’anu Al Azhim, Ibid)
Hadits keempat:
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat ketika masih muda, mereka tidur di mesjid, bahkan ada beberapa sahabat memang tinggal di emperan mesjid. Mereka disebut Ash habus Shuffah atau Ahlus Shuffah. Padahal jika mereka tidur di dalam mesjid, dan bertempat tinggal di sana , maka hari-hari junub mereka karena mimpi basah, pasti mereka alami di dalam mesjid. Jikalau memang haram, pasti mereka sudah di minta keluar atau kesadarn mereka sendiri. Namun, tidak ada riwayat tentang hal itu.
Dari Ibnu Umar, dia berkata: “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kami
Tidur di mesjid. Saat itu kami masih muda.” (HR. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 461, No hadits. 743. Musnad Ahmad, Juz. 9, Hal. 414, No hadits. 4378.)
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Berkata Imam An Nawawi, “Dari sini jelaslah, bahwa Ash Habus Shufah, para sahabat yang tinggal di mesjid, Ali, Shafwan bin Umayyah, dan segolongan sahabat nabi yang lainnya, mereka pernah tidur di dalam mesjid. Bahkan Tsumamah sebelum masuk Islam juga pernah tidur di mesjid. Semua itu terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Dalam Al Umm, Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika orang musyrik saja diperkenankan tidur di dalam mesjid, apa lagi seorang muslim.”
Di dalam kitab Al Muhktashar dijelaskan, “Tidak apa-apa orang musyrik tidur di mesjid manapun, kecuali Masjidil Haram.” (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid. 1, Hal. 213. Cet.5, 1971M/1391H. Darul Fikr. Beirut )
Nah, orang musyrik, mereka tidak akan pernah mandi wajib, wudhu, atau tayamum, artinya mereka tidak pernah lepas dari junub. Ternyata mereka boleh masuk ke masjid, tentunya seorang muslim lebih boleh lagi ke mesjid walau haid atau junub.
3. Dalil Perilaku Para Sahabat dan Fakta Sejarah
Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih, bahwa para sahabat berdiam mesjid walau junub tetapi mereka berwudhu dulu. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 313)
‘Atha bin Yasar berkata: “Aku melihat para laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Jika mereka wudhu seperti wudhu shalat mereka duduk-duduk di mesjid padahal mereka sedang keadaan junub.” Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim. (Ibid)
Imam Bukhari juga meriwayatkan tentang seorang wanita yang diberi tempat tinggal oleh Rasulullah berupa kemah di dalam mesjidnya, ia tinggal di sana hingga wafatnya. Tentunya wanita tersebut ketika haid, akan melewati hari-hari haidnya di dalam mesjid sebab ia tinggal di sana . Ini adalah dalil yang sangat kuat bagi mereka yang meyakini kebolehannya. Ibnu Ishaq dalam Sirahnya menceritakan bahwa utusan Bani Najran –beragama Nasrani- datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallan di mesjid setelah shalat Ashar. Maka tibalah waktu ibadah mereka, lantas mereka sembahyang di mesjid rasulullah. Manusia hendak menecegahnya, tetapi Rasulullah bersabda; “Biarkanlah mereka!” Lantas mereka menghadap Timur dan memulai ibadah mereka.
Imam Ibnul Qayyim mengomentari dalam Zaadul Ma’ad-nya, bahwa dibolehkan Ahli kitab masuk ke masjid kaum muslimin …. Dan mereka bisa beribadah di dalamnya, jika terjadi tidak direncanakan dan bukan kebiasaan.”
Kita tahu bahwa Ahli Kitab tidak mungkin suci, karena mereka tidak pernah mandi junub. Penerimaan Rasulullah terhadap mereka di mesjid merupakan bukti kuat kebolehannya. Jika mereka saja dibolehkan, maka apalagi bagi umat Islam, walau sedang haid dan junub. Dilihat di sisi keadilan Islam pun, tidak adil jika seorang muslimah dilarang masuk ke mesjid hanya karena haid, sementara orang kafir boleh. Demikian argumen kelompok ini.
Demikianlah, dua kelompok ini dengan argumen masing-masing. Semoga bisa diambil pelajaran, dan pembaca bisa menyimpulkannya.
Wallahu A’lam

soal ke-2


Apakah kebiasaan mengumandangkan IMSAK itu bida dikategorikan ke dalam bid’ah?

Jawaban :
IMSAK secara bahasa berarti menahan. Inti dari puasa adalah imsak itu, yaitu menahan dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Berpuasa adalah ibadah mahdhah, artinya ibadah khusus yang berdimensi vertikal, sehingga aturannya harus diambil dari aturan syara’. Tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat aturan sendiri keluar dari aturan syara’. Aturan yang tidak berasal dari syara’ secara otomatis tertolak.
Yang termasuk ke dalam ketentuan ini adalah batas kapan mulai menahan dari makan dan minum serta kapan berakhirnya.
Dalam masalah permulaan puasa, Allah swt berfirman
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqoroh : 187)
Berdasarkan ayat di atas maka difahami bahwa batas akhir waktu sahur adalah terbit fajar. Terbit fajar ditandai dengan adzan subuh, sebagaimana ini dijelaskan di dalam hadis nabi saw berikut ini;
Dari Aisyah ra, bahwa Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka Nabi saw bersabda, “makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi maktum mengumandangkan adzan, sesungguhnya ia tidak akan mengumandangkan adzan sehingga terbit fajar (HR Bukhari)
Adapun pengumandangan IMSAK saat ini yang dilakukan kira-kira 10 menit sebelum terbitnya fajar, maka kebiasaan itu telah melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan dikumandangkan IMSAK maka telah membatasi kaum muslimin dari melanjutkan sahurnya, padahal secara syara’ masih ada waktu untuk sahur. Karena itulah tradisi itu tidak diajarkan oleh Rasulullah saw bahkan bertentangan dengan dalil-dalil syara’ bisa dikategorikan ke dalam bid’ah yang dilarang oleh Rasulullah saw.
Adapun alasan IMSAK itu untuk kehati-hatian, maka alasan itu tidak bisa diterima mengingat Rasulullah memberikan ketentuan demikian. Apakah bisa difahami Rasululah mengajarkan tindakan tidak hati-hati? Allahu a’lam bish-shawab

4 Tanggapan - tanggapan to “Apakah Imsak Termasuk Bid’ah”
1. Heri Setiawan Berkata:

September 24, 2007 at 5:19 pm
yup, sekarang ini mah orang2 sukanya nakut-nakutin…
30 menit lagi imsak…..
10 menit lagi imsak…..
5 menit lagi imsak…..
imsaaaaakkkk…..
“eh udah imsak…, makannya berhenti dulu…”
itulah orang2 yang kurang ilmunya…, Islam yang harusnya mudah menjadi susah… hehe…
Balas
2. Abu Mazaaya Berkata:

November 18, 2007 at 10:53 pm
Assalamu`alaikum.
Ramadhan tahun ini telah meninggalkan kita semoga kita masih bisa bertemu dengan Ramadhan yang akan datang. Namun, walaupun Ramadhan tahun ini telah berlalu permashalahan yg sama akan terus ada bila kita tidak membahasnya dengan tuntas.
Saya disini sebagai (Thalibul Ilmi), namun tidak ada salahnya jika bisa berbagi pengetahuan.
Imsak, diambil dari bahasa Arab dari kata; “Amsaka – yumsiku – imsaak” yang artinya “menahan”. so.., imsak itu dengan kata lain menahan makan dan minum serta aktifitas lainnya yang bisa membatalkan sahum.
alQuran mengajarkan pd kita, yg artinya lbih kurangnya seperti ini; “maka makan dan minumlah kalian hingga jelas perbedaannya bagi kalian antara benang putih&benang hitam dari fajar”
Maksud dengan banang putih & benang hitam ini; “makan dan minumlah hingga tiba waktu subuh (fajar siddiq).
jadi, imsak bukanlah waktu subuh, namun Imsak hanyalah kehati-hatian jangan sampai adzan subuh dikumandangkan, mulut kita masih penuh dengan makanan. adapun persoalannya lain jika kita mengatakan bahwa; ” telah datang waktu imsak”, lalu kita katakan batal puasanya jika kita masih makan&minum, maka:
“dalam hadis dikatakan; ‘makan&minumlah kalian jika dikumandangkan azan Bilal, dan berhentilah jika dikumandangkan azan ibnu ummi maktum’”
(maaf periwayatnya lupa antara Imam Bukahari&Muslim, atau keduanya)
nah…, selama ini saya tidak pernah mendengar satu haditspun yangg mengatakan: “makan&minumlah hingga datang waktu imsak”
jika demikian……
simpulkan saja sendiri, kalau saya tidak berani mengatakan itu bid`ah, namun hanya berani mengatakan bahwa itu; “tidak ada contohnya dari nabi”
maka barang siapa yang beribadah / beramal, tidak sesuai dengan apa yg dicontohkan nabi maka amalan itu akan tertolak.
Balas
3. Farid Akbar Berkata:

November 21, 2007 at 11:49 am
Al bid’atu Bid’atun, harus dikatakan ! tp cara mengatakan dan kapan hrs dikatakan perlu kajian audien dan tempat, baru dikatakan….. secara bijak.perlu pertimbangan resiko dakwah? ya jelas…meski sebagian orang tak peduli itu, mau dikucilkan,ditentang dll. tapi semua memang harus dikatakan,kalo tdk ? mau dikemanakan hadist2 yg melarang bid’ah ? hanya untuk ” Warisan ” atau tak perlu dibeber ? sampai orang sholat shubuh 3 rekaat tidak apa2,dhuhur 4 rekaat dgn baca qunut di masing2 rekaat, karena itu Hasanah ?? Wa atuubu ilaka ya dzal jalaali wal ikrom……
Balas
4. priyodjatmiko Berkata:

Desember 9, 2008 at 3:53 pm
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu, dia (Zaid) berkata : “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian beliau bangkit untuk shalat (shubuh).” Anas berkata : Aku bertanya kepada Zaid : “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Ia menjawab : “Kurang lebih sekitar (bacaan) lima puluh ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Faidah:
1. kebiasaan rasulullah memberi jarak sekitar bacaan 50 ayat antara sahur beliau dan adzan
2. telah tetap dalil-dalil yang menetapkan batas berhenti makan adalah waktu fajar (ditandai dengan adzan). Lalu bagaimana menyatukan 2 dalil ini? Ada 2 pendapat para ulama, pertama: kebiasaan rasulullah tersebut hukumnya sekedar mandub (disukai) dan kebiasaan manusiawi, bukan wajib atau pembatas, kedua: sebagian ulama memaknai kata adzan dalam hadits tadi sebagai iqamat
3. bagi yang memilih pendapat pertama, yaitu kisaran waktu tadi sebagai mengikut sunnah rasul dan bukan sebagai pembatas/syariat baru, maka ini tidak dihukumi bid`ah
4. jadi kita bisa menyatukan antara tuntutan syariat dengan tuntutan i`tilaf (menyatukan hati), dengan cara: KOMUNIKASI DENGAN BAIK DAN BENAR.
Afwan, abah, sekedar menambahkan, terutama untuk akh farid akbar (Akbar?)